Chicago adalah kota yang ramai. Tak kalah ramai dengan kampung halaman, Tokyo. Tiga belas jam dari O'Hare ke Haneda tidak terlalu membawa banyak perubahan. Hal berbeda di mata lelaki itu mungkin hanya soal lalu-lalang yang bicara dengan bahasa Jepang alih-alih Inggris.
Kuroo menghirup udara Tokyo dengan perasaan campur aduk. Ia sudah mulai merasa nyaman dengan kehidupan kopi-burger-steak, namun malah ditarik kembali untuk merasakan sup miso. Bila bukan karena bujuk sosok tersayang, maka si surai jabrik tidak akan meninggalkan pekerjaan di kantor luar negeri dan pulang.
Perhentian pertama tentu saja sebuah apartemen di Ota—satu kota dengan bandara. Bukan rumah, karena Kuroo belum yakin untuk bermalam di tempat yang sudah lama ia tinggalkan. Sorenya lelaki itu berjalan kaki dengan ransel besar. Tujuannya adalah tempat penyewaan mobil di dekat hunian baru.
Tanpa pikir panjang ia membayar masa pinjam tiga bulan untuk sedan camry , melompat masuk dalam mobil bercat hitam itu, dan berganti pakaian. Setelan jas caruso hitam, kemeja prada putih, dasi tom ford beraksen kelabu. Tak lupa pula sepatu kulit ferragamo agar dirinya tampak lumayan berkelas luar dalam.
Setir Kuroo putar menuju sebuah hotel di jantung kota Ebisu, tempat sebuah pesta sedang diselenggarakan. Dengan cepat lelaki itu menitipkan kunci pada petugas valet dan berjalan masuk, menghirup udara penuh ekspektasi. Tentu saja. Kiri dan kanan terdapat rekan bisnis. Lalu tepat di tengah ruangan, keluarganya sedang bercengkrama.
“Tetsurou, kapan kau tiba di Tokyo? Kenapa tidak memberi kabar?” sapa ayahnya.
“Aku terburu-buru, ayah. Maaf,” kelit Kuroo sembari menundukkan kepala, memberi hormat. Ia kemudian beralih pada kakak perempuan serta suaminya. Mereka bertiga hanya saling bersalaman dan tersenyum lebar.
Ekspresi Kuroo baru berubah cerah saat dihadapkan dengan sosok tersayangnya, sang kakek. Ia tersenyum lagi—lebih hangat—lalu memeluk tubuh pria yang tengah berulang tahun di kursi roda. Tiga bulan lalu stroke menyerang dan membuat semua gempar, termasuk Kuroo yang tidak dapat hadir secara langsung.
“Rasanya seperti sudah berabad-abad tidak melihatmu,” ucap sang kakek dengan sedikit terharu.
“Umur kakek bahkan belum satu abad.”
Kekeh pelan menjadi balas komentar barusan. “Benar,” gumam pria itu, “aku baru 86 tahun hari ini.”
“86 tahun itu sudah melewati angka harapan hidup orang Jepang,” sahut Kuroo sembari berlutut di depan sang kakek.
“Kau sedang mendoakan kakekmu agar cepat mati?” Protes menjadi balas, namun lengkung bibir tak kunjung luntur oleh perasaan bahagia.
“Bukan begitu,” ralat Kuroo, “maksudku, kakek sangat sehat sekarang jadi aku tidak perlu khawatir saat kembali ke Chicago nanti.”
Mendadak pria itu memicingkan mata. Bibir cemberut mendengar kata ‘kembali ke Chicago’ terucap dari mulut cucunya. “Aku ingin melihat cucu menantuku sebelum kau pergi lagi.”
Manik legam mendelik lebar. Kuroo mengarahkan dagu pada suami kakaknya untuk menunjukkan sosok ‘cucu menantu’ yang ia inginkan. Namun sang kakek menggeleng pelan dan menodongkan telunjuk pada Kuroo.
“Kau! Aku ingin melihatmu menikah,” tegas kakeknya dengan raut gemas.
Padahal rencana mengalihkan topik sensitif tadi sudah sangat bagus. Tapi mantan direktur utama memang sulit sekali dikelabui. Kuroo hanya menyunggingkan senyum panik seraya bangkit berdiri. Ia hendak kabur dari hadapan sang kakek bila saja tidak ditahan rangkul lengan sang ayah.
"Tenang saja," ucap pria itu sambil menepuk-nepuk pundak, "aku akan mencarikan jodoh yang pas untuk cucu ayah."
Kakek Kuroo menggeleng pelan sembari menyahut, "Aku sudah menentukan jodoh Tetsurou sejak lama. Kau tidak perlu mencarikannya—,"
"Permisi, kakek, ayah," sela Kuroo perlahan menyingkirkan tangan sang ayah. Ia tersenyum canggung sambil bergeser sedikit demi sedikit, "Aku mau reuni dengan teman-temanku."
Kalimat izin terucap. Namun lelaki jabrik itu enggan menunggu balasan sebelum kabur. Sembari berjalan, ia bisa mendengar decak heran sang kakek. Setidaknya Kuroo sudah melihat sosok tersayang dalam keadaan sehat. Ia tidak memiliki penyesalan bila bertolak lagi dari negara ini.
"Hei hei hei, Kuroo Tetsurou!" seru seseorang dari sudut aula.
Lelaki itu menoleh dan menemukan senyum tengil milik temannya. Ada tiga orang di sana, tengah bercengkrama santai sambil menikmati air soda. Harusnya empat, namun Kuroo seratus persen yakin anggota terakhir mereka sibuk bermain gim di rumah.
"Bagaimana Amerika, bro ?" imbuh sosok berambut jabrik hitam-putih. Ia langsung merangkul Kuroo dan mengajaknya bergabung dalam lingkaran.
"Menyibukkan. Seperti biasa," sahut lelaki itu kemudian balas bertanya, "bagaimana Jepang?"
"Kami baik-baik saja," balas Kita Shinsuke, sosok berambut dwiwarna dengan poni di dahi.
"Kudengar kakekmu akan segera mengumumkan perjodohan. Kami datang karena penasaran," celetuk pemuda berambut zaitun yang tengah memegang gelas kedua.
Kuroo terbelalak. Ia tidak tahu kabar aneh itu sudah berhembus ke mana-mana. Dirinya terlalu sibuk kabur dan bekerja di negeri orang.
"Benarkah, Wakatoshi-kun? Aku baru tahu," sahut si rambut hitam kemudian tertawa canggung.
"Ey, jangan mengada-ada! Mana mungkin kau tidak tahu perjodohanmu sendiri?” sela Bokuto Koutaro yang sejak tadi merangkul bahu Kuroo, “lagipula aku yakin kakekmu sedang membicarakan orang di sana." Dagunya mengarah pada sosok berambut ikal yang tampak sedang bicara intens dengan laki-laki pirang.
Akaashi Keiji . Sudah terlampau lama Kuroo tidak melihat kenangan masa kecil dan remajanya. Ternyata lelaki itu tumbuh dengan baik pasca ia pergi jauh.
Kalau sang kakek tadi berkata sudah menentukan jodohnya sejak lama, maka itu tidak lain dan tidak bukan pasti Akaashi. Mereka sudah dekat sejak masa kanak-kanak. Ia sosok yang lembut dan baik. Keduanya bisa saja berada pada tahap serius saat ini bila tidak ada insiden di masa lampau. Bila saja Kuroo tidak pergi tiba-tiba.
"Aku baru tahu Akaashi dekat dengan Miya Atsumu," celetuk Kita. Temannya itu dan klan Miya memang berasal dari prefektur yang sama. Jadi bukan hal aneh bila saling mengenal. Tapi untuk urusan Akaashi…
…rasanya seperti ada sesuatu.
"Kalian berdua sudah lama tidak bertemu," ujar Kita lagi, membuyarkan pikiran Kuroo, "minimal saling sapa dulu. Jangan langsung berpikir aneh-aneh."
Benar. Menebak hal yang tidak pasti hanya buang-buang waktu. Alangkah lebih baik bila Kuroo langsung bertanya saja.
"Kalau begitu permisi."
Dan meluruskan semuanya.
;
Bila seluruh manusia di dalam aula itu hadir untuk bertemu kolega dan membicarakan bisnis, maka mungkin Akaashi tergolong aneh. Satu-satunya alasan lelaki itu menginjak karpet merah di lantai adalah karena tak mampu menolak permintaan seseorang. Maklum, mereka memang dekat walau bukan cucu dan kakek kandung.
Akaashi senang menjadi teman, juga senang untuk mendengarkan cerita panjang tentang pengalaman hidup dan masa kejayaan. Ia bisa belajar banyak hanya dari tutur seseorang. Umpan dipasang pada kail. Tali pancing dilempar jauh ke tengah danau. Lalu sebuah cerita inspiratif terulang kembali. Terasa menyenangkan dan hangat. Jauh dari rumah kosong yang dingin.
Lelaki itu berangkat dengan berat hati, mengabaikan sapaan yang menganggap dirinya sebagai bahan ekspansi bisnis. Orang-orang di tempat ini selalu mengawali pembicaraan dengan "bagaimana kabar ayahmu". Akaashi hanya bisa tersenyum singkat lalu kabur diam-diam, mencoba bertahan hingga akhir.
Di tengah kecanggungan, Miya Atsumu datang dan menyapa dengan gaya lain, "Bagaimana kabar Osamu?"
Yang disapa menoleh terkejut, mendapati sosok tak diharapkan berada di sana. Terakhir kali mereka bertemu dalam situasi yang tidak mengenakkan—karena Akaashi salah mengira Atsumu sebagai sosok yang ia kenal.
"Ini pesta konglomerat. Ada banyak kemungkinan bahwa aku akan datang," jelas lelaki pirang itu. Ia menghentikan jalan seorang pelayan dan mengambil segelas minuman.
"Osamu sehat," jawab Akaashi.
"Bisnisnya?"
Helaan napas lolos dari mulut. Sudah cukup menjawab pertanyaan lanjut Atsumu tentang kabar saudara kembarnya.
"Pacarmu tidak akan bertahan tanpa suntikan dana. Ia akan diusir dan bangkrut dalam waktu dekat jika tidak mau membuang jauh-jauh harga diri sialan itu," geram si pirang sambil meremas erat pegangan gelas.
Akaashi di sisi lain tampak lesu. Di tengah keterpaksaan ini, dirinya masih didera tekanan. Memang bukan salahnya bisnis kecil-kecilan Osamu tidak berjalan baik. Namun ia tetap merasa bertanggung jawab sebagai orang terdekat.
Sebagai seorang pacar yang tak ingin melihatnya terpuruk.
"Jangan menyalahkan dirimu. Lebih baik kau membantuku dengan memberi alamat kedai barunya," ujar Atsumu lagi kemudian menyesap sedikit air soda di gelas.
"Aku bisa dimarahi habis-habisan," sahut lelaki ikal itu sambil tersenyum getir.
Si pirang ikut menghela napas setelah mendengar jawaban. "Jadi kau mau terus mendukung seorang pembangkang?"
Akaashi menundukkan kepala sejenak, menatap karpet merah di lantai dengan sendu. "Selama Osamu belum tahu, aku ingin mendukungnya sebagai orang biasa."
Tatap ragu sepasang manik coklat terarah ke sebelah. "Bau busuk selalu menemukan jalan keluar untuk dicium orang," ucap si pirang sebelum menenggak habis minuman di tangan.
Mereka menonton upacara pemotongan kue bersisian. Dengan masing-masing larut dalam pikiran sendiri. Perbedaannya adalah Atsumu tetap diam di tempat setelah keramaian mereda, sedangkan Akaashi ditarik menyingkir dari sana.
Lelaki ikal hanya dapat melihat punggung serta tangan yang digenggam erat. Kaki melangkah lebih jauh, mencari sepi tanpa seorang pun akan mengintai.
Akaashi dihadapkan dengan sosok yang sudah sangat lama tidak ia lihat. Garis wajah tegas, mata sipit yang tajam. Rambut jabrik hitam dengan poni menutup separuh dahi.
Inikah alasan sang kakek memaksanya datang?
"Maaf," sapa Kuroo sambil tersenyum kikuk.
Akaashi menatap khawatir alih-alih bingung. Lelaki di hadapannya ini memang selalu mencari tempat sepi bila hendak bicara serius. Ia sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali Akaashi melihatnya terbaring di ranjang rumah sakit.
“Untuk apa?” tanya si ikal sembari menarik lepas tangan yang masih digenggam.
“Untuk menarikmu tiba-tiba.”
Senyum lega menjadi balas. Dibawa untuk bicara empat mata bukan masalah besar. Hanya saja mungkin partner mengobrol sebelumnya akan bingung di tempat.
“Bukan masalah,” sahut Akaashi sembari memperhatikan lelaki itu dari atas ke bawah. Ia tampak sehat dan baik-baik saja.
Syukurlah.
Kuroo mengusap tengkuk sejenak, melampiaskan rasa canggung di dalam benak. Ia berpikir keras untuk memulai topik baru. Rasanya sulit bicara ketika pertemuan terakhir mereka tidak berakhir baik-baik saja.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Akaashi lebih dulu.
"Lumayan baik," balas si jabrik. Memang, hidup menyingkir itu rasanya jauh lebih tenang. Tapi tetap saja ia sedikit menyesal telah melewatkan beberapa hal di Jepang.
"Apa kakek mengundangmu?" imbuh Kuroo.
Akaashi menjawab dengan angguk pelan serta tatapan ragu. Berat hatinya muncul kembali, mengisi pikiran dengan hal-hal yang mungkin tak akan terjadi.
"Dulu kakek juga tiba-tiba mengundangmu ke pesta ulang tahun," ujar lelaki di hadapannya sembari menatap serius, "dan kau ingat apa yang dia lakukan?"
Atau mungkin saja terjadi.
"Menjodohkanmu denganku."
Harusnya Akaashi tidak usah datang .
"Setelah aku menjauh dan meninggalkanmu tanpa kabar, apa kau masih akan menyetujui perjodohan?"
Pertanyaan macam apa itu? Mengapa Kuroo melontarkan kalimat itu seolah ia pernah menyetujui permintaan sang kakek?
Akaashi mengambil napas sejenak, menepis berat yang sejak awal hinggap di dalam hati. "Jika itu kemauan kakekmu dan keluargaku, maka akan sulit untuk menolak," jawab si ikal seraya mendongak lalu menatap tajam, "tapi saat kau pergi tanpa kabar, ada banyak hal yang berubah."
Bukan hanya Kuroo yang ingin meluruskan sesuatu. Akaashi juga. Lelaki itu ingin memperjelas hubungan di antara mereka.
"Aku sudah bersama orang lain," ucap si ikal lagi, "kupikir kita tidak perlu memikirkan masa lalu. Kau bisa kabur lagi semaumu tanpa ditahan siapapun."
Sorot serius tadi lenyap. Sepasang manik legam terbelalak, tampak terkejut oleh ucapan Akaashi.
"Kalau tidak ada yang ingin kau ucapkan lagi, aku permisi," ucap lelaki ikal seraya menundukkan kepala, memberi hormat sejenak kemudian berbalik badan.
Kuroo membeku di tempat. Ia tak dapat menyahut apapun. Semua kalimat basa-basi dalam pikiran menguap begitu saja.
Namun sebelum sempat berpisah lebih jauh, sosok di atas kursi roda sudah datang dengan senyum lebar. Akaashi menghentikan langkah, terkejut atas kehadiran sosok pengundangnya.
"Baru saja aku ingin kita mengobrol tapi kalian malah mendahului," celoteh sang kakek lalu tertawa girang.
Si ikal mengurungkan niat untuk pergi. Ia tetap berdiri di tempat, dengan berat hati membiarkan pria sepuh itu menghampiri.
"Kau sudah mau pulang?"
Akaashi mengangguk kecil sebelum menyahut, "Ya."
Anehnya, sang kakek malah semakin berbunga-bunga mendengar jawab barusan.
"Tetsurou," panggil pria itu, "tolong antar Keiji-kun pulang. Kau bawa mobil sendiri, kan?"
Kuroo jadi heran bagaimana kakeknya pernah menjadi direktur utama bila tidak dapat membaca situasi. Padahal ia baru saja ditolak beberapa saat yang lalu.
;
Suasana di dalam camry begitu hening. Bila ada suara, paling-paling hanya klakson mobil dari luar atau para pejalan kaki di trotoar. Baik Akaashi maupun Kuroo belum ada yang ingin buka mulut. Si ikal sibuk menatap keluar jendela, sementara si jabrik sibuk memperhatikan jalan.
Baru ketika mereka tiba di persimpangan, Akaashi menyela, "Kau tidak perlu memaksakan diri untuk mengantarku."
"Tidak terpaksa. Lagipula aku juga ingin kabur dari pesta."
Si ikal melirik sejenak, melihat bagaimana Kuroo fokus pada kemudinya.
"Kau tidak merindukan keluargamu?"
Dengkus pelan lolos dari bibir, menyahut pertanyaan barusan. "Sedikit. Setelah kejadian dulu, aku hanya merindukan kakekku saja."
Akaashi tidak repot-repot bertanya lanjut soal "kejadian dulu". Ia lebih dari sekadar tahu. Si ikal pernah melihatnya sendiri—bagaimana rawat inap di rumah sakit menjadi puncak keretakan hubungan keluarga.
Sebaiknya ia segera mengganti topik.
"Apa kau masih berhubungan dengan Oikawa-san?" Pertanyaan terlontar begitu saja. Sama-sama sensitif (karena soal mantan) walaupun kadarnya tidak separah yang tadi.
"Aku memutus kontak dengan semua orang saat pergi ke Amerika, kecuali kakekku."
Kalimat yang secara tidak langsung menjawab pertanyaan.
"Kau bilang kau tinggal di apartemen," imbuh Kuroo, mengungkit perkataan basa-basi Akaashi ketika mereka diantar sang kakek hingga ke pelataran gedung. "Tujuanku di kota lain. Ke mana tujuanmu?"
"Ota. Aku masih menyelesaikan tugas akhir jadi lebih baik tinggal di dekat kampus. Dekat bandara juga, jadi lebih mudah bagiku bila ada pertemuan keluarga di Hongkong."
Si jabrik melirik kaget. Apartemennya juga berada di sana. Kebetulan yang lucu. Bedanya Kuroo memilih tempat di dekat bandara agar lebih mudah kabur dari pertemuan keluarga.
"Aku juga menuju ke sana. Di mana apartemenmu?"
"Kau tahu Kiiroibara? Cukup terkenal di Ota. Fasilitasnya sebelah dua belas hotel bintang lima. Jadi tidak sulit untuk—," jawab Akaashi sambil menoleh. Manik biru nan sayu bertemu dengan sepasang obsidian yang membulat terkejut.
"Jangan bilang…,"
Kuroo beralih kembali ke jalan. Kedua tangan menggenggam setir kuat-kuat, memutar arah menuju gedung apartemen mereka yang ternyata sama.
"Aku tidak akan bilang apa-apa."
Bukan tanpa alasan tempat itu terkenal (di kalangan konglomerat). Sebelum memutuskan kembali ke Tokyo, Kuroo perlu memesan tiga bulan sebelumnya. Sarapan berkelas setiap pagi, makan malam mewah, kamar nyaman, dan penjagaan yang tidak rumit namun tetap aman. Harganya lumayan tinggi. Tapi jumlah isi rekening keluarga berada juga tidak kalah tinggi.
"Jangan bilang kau tinggal di lantai enam juga," celetuk Kuroo usai memarkir di basement .
Akaashi keluar dari mobil sendiri, mengabaikan sosok yang baru saja berjalan ke pintu sebelah dengan niat membukakan. Mereka berakhir melangkah bersisian menuju pintu masuk.
"Tidak semuanya selalu menjadi kebetulan," sahut si ikal sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jubah, "unitku di lantai lima."
Kuroo ber-oh ria, dengan sedikit sisa kecanggungan ia tetap menemani Akaashi di dalam lift , naik ke lantai yang berbeda.
"Aku tahu kau sudah menjalin hubungan dengan seseorang tapi…"
Tiba-tiba lelaki itu menoleh, menanti kalimat lanjutan Kuroo sembari menatap penuh tanya.
"...berteman biasa bukan masalah besar, kan?"
Senyum tipis terulas di bibir Akaashi. Mungkin tanda persetujuan. Entahlah, Kuroo tidak yakin-yakin amat.
"Kalau butuh sesuatu, aku ada di unit 502," balas si ikal singkat sembari berjalan keluar terlebih dahulu.
Lelaki jabrik masih bertahan di dalam ruang, menatap punggung calon menantu kesayangan kakeknya itu.
"Aku 607," sebut Kuroo pelan. Ia berharap Akaashi masih bisa mendengar nomor unitnya sebelum pintu lift benar-benar menutup.
Tunggu , kenapa berharap?
;
Pesta ulang tahun dan pertemuan Sabtu lalu Akaashi anggap sebagai mimpi semata. Hari esok ia lalui seperti biasa, dengan sarapan roti isi dan setelan baju rapi. Sepanjang pagi lelaki itu menghabiskan waktu di perpustakaan, tenggelam dalam berbagai buku referensi. Ia akan makan siang di kafetaria luar sebelum kembali masuk dan meminjam beberapa judul untuk menambah sisipan teori.
Ketika sore datang, si ikal akan menaiki bus menuju sebuah kedai onigiri di dekat kampus. Itu sebuah kedai sekaligus kamar sewa. Tempatnya tergolong kecil, namun bernuansa hangat. Lampu-lampu kecil di dinding tengah menyala, lalu seorang lelaki tengah mengulas senyum.
“Sudah sampai bab berapa?” sapa sosok itu sambil menghidangkan dua kepalan onigiri di meja bar.
“Empat,” balas Akaashi setelah mencuci tangan. Ia duduk di depan sajian hangat sembari memandang sang pemilik kedai
Itu Osamu. Osamunya . Seseorang yang sedang menjalin hubungan dengannya.
“Satu bab lagi sebelum ujian,” sahut lelaki bersurai legam itu seraya menaruh segelas teh hijau ke sebelah piring onigiri. Ia duduk di hadapan Akaashi, bertopang dagu sembari menatap lekat-lekat.
Sang kekasih menyantap nasi kepalnya dengan pipi bersemu merah. Malu dengan afeksi intens yang diberikan.
“Ingin hadiah apa sesudah ujian?” tanya Osamu yang masih belum jemu menatap.
“Aku tidak ingin apa-apa,” jawab Akaashi seraya menundukkan kepala, memilih untuk fokus pada onigiri alih-alih manik kelabu pacarnya.
“Kau selalu begitu. Padahal aku ingin sekali saja memberimu sesuatu.”
“Daripada membelikanku sesuatu, mengapa kita tidak pergi ke suatu tempat dan merayakannya bersama-sama? Kau bisa menggunakan uang hadiah untuk sewa kedai. Kudengar mereka menaikkan harganya lagi bulan ini,” ujar Akaashi panjang lebar.
Kekasihnya hanya bisa terdiam di tempat, mendengar perkataan yang tidak ada salahnya. Manik kelabu mengerjap pelan, bibir mengatup rapat. Walau samar, Akaashi masih bisa melihat kerutan jengah di dahi Osamu.
Bukan hanya sekali ia mengungkit topik ini. Sudah berkali-kali banyaknya. Sudah berkali-kali pula Osamu berakhir diam dan menyesal mengajaknya bicara.
“Apa umeboshi -nya terlalu asin?” lontar Osamu, mengalihkan topik.
Akaashi mendongak, mencari sorot lekat manik kelabu yang telah hilang. “Rasanya pas,” sahut lelaki itu dengan raut khawatir.
“Kalau kau ingin beberapa untuk makan malam, aku bisa membungkuskannya,” ujar sang kekasih sembari berjalan ke arah dapur.
Tidak ada lagi kehangatan. Bahkan lampu-lampu gantung kecil di dinding tak lagi mendukung nuansa kedai itu.
“Osamu,” panggil Akaashi dengan suara pelan. Ia beranjak dari kursi setelah onigiri di piring dan teh di gelas habis, menyusul sang kekasih yang masih sibuk dengan makan malamnya.
Punggung lelaki itu tegang ketika telinga menangkap suara langkah kaki mendekat. Akaashi melingkarkan tangan pada perutnya, memeluk erat sembari menyandarkan kepala di bahu sang kekasih.
“Osamu,” panggilnya lagi.
Kali ini mendapat balas sebuah gumam.
“Aku ingin membantumu.”
Dengkus pelan lolos dari mulut. Osamu berhenti mengepal nasi. Ia meraih mangkuk air bersih dan membasuh tangan di sana. Lelaki itu berbalik dan menangkup pipi Akaashi, menarik sang kekasih dalam sebuah cumbu. Singkat namun intens.
Si ikal dapat merasakan sedikit frustrasi di sana, terlampiaskan oleh pagut bibir. Manik kelabu tampak sedikit basah seusai ciuman. Akaashi dapat melihat jelas meskipun ruang itu bercahaya remang.
“Aku masih punya sisa tabungan. Kalau kau mau, aku bisa membantumu,” bujuk lelaki ikal sembari memeluk Osamu kembali.
Sang kekasih balas merengkuh. Tangan berpindah ke belakang, mengusap helai-helai hitam Akaashi dengan lembut. Ia tidak menangis. Ia tidak boleh terlihat lemah di depan pacarnya. Oleh karena itu, balasan yang terucap hanya sebuah penolakan halus.
“Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku baik-baik saja.”
;
Sudah larut malam ketika Akaashi berjalan lunglai menuju lift apartemen. Ia menekan tombol lima lalu mundur dan bersandar di dinding. Pandangan kosong, mengarah pada pintu yang kemudian terbuka dengan rombongan orang-orang.
Berisik, bagi Akaashi. Lelaki itu ingin seorang diri saja. Tanpa siapapun akan mengganggu atau mengungkit apa yang terjadi lagi sore tadi.
Bukan hanya sekali Osamu mengusirnya. Bukan hanya sekali pula si ikal makan hati. Padahal ia hanya bermaksud baik. Sama sekali tak ada niat untuk mencelakakan sang kekasih.
"Kau baik?" Tiba-tiba sebuah celetuk mampir. Sang penutur berdiri di sebelah Akaashi, turut menunggu naiknya lift bersama.
Melihat keterdiaman lelaki itu, Kuroo mengusap tengkuk sendiri, mengusir canggung yang mungkin tercipta.
"Eum, aku baru saja dari kafetaria di lantai dua, jadi tidak sengaja satu lift denganmu," jelas si jabrik, "bukan apa-apa."
Akaashi menghela napas sejenak sebelum menoleh. Manik legam memandang sayu, lelah. "Bukan masalah," sahutnya pelan.
Di mata Kuroo, jelas Akaashi tidak baik-baik saja. Mengenal lelaki itu sejak dini membuatnya tahu perbedaan antara ia bicara tenang atau lesu dengan beban.
Beban yang ini pasti lumayan berat.
"K-kau tahu? Aku tidak memiliki kesibukan apapun, jadi kau bisa… kalau kau butuh… bercerita padaku." Penawaran terucap dengan nada ragu—atau lebih tepatnya gugup.
Sejak dulu Kuroo kurang bisa menghibur seseorang yang tengah bersedih. Ia akan panik dan berusaha semaksimal mungkin dengan terbata-bata. Akaashi yang dulu biasanya hanya balas tersenyum, menepuk-nepuk pundak Kuroo sambil berkata—
"Aku baik-baik saja."
Tidak berubah.
"Mana ada orang baik-baik saja berwajah selesu itu?" celetuk Kuroo seraya menoleh ke arah lain, membiarkan Akaashi menikmati ruang pribadinya.
Hening menyelimuti keduanya hingga lift mencapai lantai kelima. Akaashi bergumam pelan sebelum keluar dari sana, meninggalkan Kuroo dengan tanda tanya dan kekhawatiran besar.
"Benar. Aku tidak mungkin baik-baik saja. Dia juga tidak mungkin baik-baik saja."
Sepasang manik terbelalak. Pikiran Kuroo sudah menyuruh untuk menyusul, namun kakinya tetap diam. Ada dinding besar yang membuat lelaki itu enggan ikut campur.
Jadilah si jabrik berjalan menyusuri koridor lantai enam, masuk ke dalam unitnya, lalu merebahkan diri di atas sofa. Mata terpejam selama beberapa menit, merenung tentang apa yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan bayang-bayang sosok murung di lift tadi.
Ah, benar juga. Sebuah nomor ia tekan pada layar ponsel. Untung saja mereka sempat bertukar kontak di pesta ulang tahun kakeknya.
"Shinsuke-kun," panggil Kuroo setelah panggilan tersambung.
'Kenapa menelepon?' sahut suara lembut di seberang.
"Aku hanya ingin bertanya sesuatu," balas si sembari mengepalkan tangan, gusar.
Kita Shinsuke terdiam di seberang, menunggu kalimat lanjutan sang penelepon.
"Apa kau tahu kabar Miya Atsumu?"
'Atsumu baik. Aku baru rapat dengannya pagi ini. Dia tampak tidak punya masalah apapun. Kenapa bertanya? Apa ada sesuatu di Amerika?'
Kuroo menghela napas lega.
"Tidak ada apa-apa. Sampaikan salamku pada Atsumu agar dia menjaga pacarnya dengan baik," ucapnya kemudian berpamitan, "terima kasih, Shinsuke-kun. Selamat malam."
Ponselnya ditutup, dimatikan. Lelaki itu kemudian duduk menghadap pintu, memandang daun kayu dengan sorot gusar.
Apa masalahnya bukan karena Atsumu?
;
Kembali ke kampung halaman membuat kesibukan Kuroo Tetsurou berkurang hingga lebih dari lima puluh persen. Ia biasa menghabiskan waktu untuk riset kondisi perusahaan-perusahaan yang masuk pasar saham dan bertemu klien. Siang hari lelaki itu akan mengadakan rapat kecil satu divisi. Agenda sorenya mengecek laporan keuangan dan menonton berita terkini hingga malam, lalu beristirahat sampai pagi.
Saat ini tidak ada yang bisa lelaki itu lakukan. Semua pekerjaan telah diambil alih kantor. Ia hanya duduk diam di sofa sambil menikmati libur tiga bulannya. Yang kosong dan membosankan.
Terbiasa hidup dalam laju cepat membuat lelaki itu sedikit syok dengan betapa bebas dirinya sekarang. Orang-orang di persimpangan sibuk berlari menuju kantor masing-masing, sementara ia hanya bisa menatap melalui jendela. Tanpa tujuan hidup.
Begini rasanya hidup tidak gila kerja, Kuroo mendadak bingung sendiri.
Untuk kesekian kalinya ia memilih untuk duduk di kafetaria, memesan secangkir kopi dan duduk sambil membaca majalah bisnis. Ponsel sengaja dimatikan agar tidak ada orang rumah yang mengontak. Bila sudah larut dan tak sengaja melihat notifikasi, maka Kuroo dengan entengnya akan membalas “maaf, sibuk”—agar mereka mengira dirinya sudah kembali ke Chicago.
Tapi setiap malam ketika hendak kembali ke unit, ia terusik oleh kepulangan seorang penghuni lantai lima. Rautnya selalu lesu hampir setiap hari.
Kali pertama melihat, Kuroo langsung menghampiri dan mengajak bicara. Namun semakin lama ia bingung sendiri hendak memulai dengan topik apa. Ia lebih suka melihat Akaashi yang sedikit ketus di pesta ulang tahun sang kakek dibanding Akaashi yang selalu murung di Kiiroibara .
Siang ini Kuroo pergi ke kafetaria lagi, mencari kudapan selepas mandi. Entah angin apa yang membawa si penghuni lantai lima untuk pulang lebih dini dan berdiam di lift yang sama dengannya. Lelaki jabrik keluar ketika bilik berhenti di lantai dua. Ia mencoba menjalani hari seperti biasa tanpa terganggu fakta bahwa Akaashi berjalan di belakangnya.
Tunggu. Lelaki itu sontak menoleh dan mendapati si ikal sedang melangkah menuju sebuah meja kosong di sudut kafetaria.
Kuroo menelan ludah sejenak. Gugup oleh kesempatan mencari teman di siang bolong. Ia sudah hidup dalam kekosongan dan kesepian berhari-hari, jadi bukan hal aneh bila menghampiri Akaashi dan meminta izin untuk duduk di hadapannya.
Lagipula mereka teman, bukan?
“Duduk saja,” sahut si ikal tanpa mendongak. Manik birunya sibuk memperhatikan buku menu.
“Kau mau pesan juga?” tanya Akaashi—kali ini sambil melihat Kuroo dan ekspresi bingungnya.
Si jabrik terdiam sejenak, memproses kalimat yang baru saja temannya lontarkan. Ketika melirik buku menu tersodor ke sisi mejanya, barulah Kuroo sadar bahwa Akaashi memintanya memesan juga.
“Ah, iya! Aku juga mau pesan sesuatu,” sahut lelaki itu sambil menenggelamkan diri dalam buku menu, memperhatikan foto-foto makanan dalam diam.
Akaashi tidak bicara apapun setelahnya. Sifat dasar lelaki itu memang tenang. Ia lebih suka mendengarkan orang lain dibanding bicara panjang lebar. Sangat kontras dengan Oikawa Tooru yang Kuroo kencani semasa SMA. Namun lagi, membandingkan Akaashi dengan Oikawa itu salah. Dari awal posisi mereka sudah berbeda. Akaashi adalah sahabat dari kecil, sedangkan Oikawa pelarian masa remaja.
Hanya pelarian .
“Kalau sudah selesai, aku akan memanggil pelayan,” sela Akaashi yang tengah membalas tatap-tanpa-sadar Kuroo.
Rautnya tidak lagi murung, melainkan datar—nyaris ketus bila saja manik biru memandang lebih tajam. Dengan asal lelaki jabrik memilih set makan siang ala Jepang dan mengembalikan buku menu ke pinggir meja.
“Apa kau libur mengerjakan tugas akhir hari ini?” tanya Kuroo setelah bermenit-menit memilih topik dalam kepala.
“Kurang lebih,” sahut sang partner makan siang seraya mendongak, “aku sedang menunggu masukan dari dosen pembimbing. Jadi tidak banyak yang bisa kulakukan.”
Lelaki jabrik mengangguk kecil untuk membalas, kemudian suasana di antara mereka berubah hening kembali. Akaashi sibuk dengan isi pikiran, sementara Kuroo sibuk dengan rasa penasaran.
“Eum, apa aku boleh bertanya sesuatu?” ucapnya meminta izin.
Akaashi mengiyakan lewat gumam pendek.
“Mungkin sedikit…,” jeda sejenak karena Kuroo mengangkat ibu jari serta telunjuk yang menempel sebagai gestur obrolan, “...sensitif.”
Helaan napas lolos dari mulut si ikal. Kuroo sempat takut apabila lelaki itu menolak, namun ternyata ia bergumam lagi, mengiyakan.
“Bukannya aku sedang menjadi stalker -mu atau apa tapi aku tidak … bisa menahan rasa penasaranku setiap melihatmu pulang dengan wajah tertekuk. Jadi aku hanya ingin … sebagai teman … membantumu mengatasi kesedihan di wajahmu.”
Sangat tidak jelas.
Tapi Akaashi balas terkekeh. Kepala menunduk sejenak oleh tawa kecil, lalu mendongak kembali dan menatap Kuroo tepat di mata.
“Kurasa aku sudah pernah bilang bahwa aku baik-baik saja. Tapi kalau kau terus bertanya, aku tidak akan bisa bohong terlalu lama.”
Jackpot! Sekarang apa?
“Apa kau tahu cara membujuk orang?” tanya Akaashi sembari membuka botol air mineral yang tersedia di pinggir meja.
Kuroo mengerutkan dahi sejenak. Membujuk orang itu bukan keahlian yang sangat ia kuasai, namun cukup sering lelaki itu gunakan di kantor. Terutama bila klien mereka banyak protes.
“Orangnya seperti apa?” tanya si jabrik kemudian.
“Dia baik tapi agak keras kepala. Tidak ingin merepotkan siapa-siapa tapi sangat butuh pertolongan. Aku kehabisan cara untuk membujuknya menerima bantuanku dan sekarang aku tidak tahu harus apa.”
Kuroo memundurkan badan, menempelkan punggung pada sandaran kursi sembari berpikir keras. “Agak sulit membujuk orang seperti itu. Bila dia klienku, maka aku akan menjauh selama beberapa minggu dan membiarkannya kembali sendiri karena memang membutuhkanku.”
“Bagaimana bila kau tidak bisa menjauh?”
"Tetap dekati dia tapi oper masalahnya pada orang lain."
Akaashi menatap penuh harap, namun kemudian langsung menunduk dan memperhatikan meja mereka.
"Dia akan sangat membenciku," cicitnya.
Kuroo semakin bingung sendiri, menduga bahwa sosok yang dibicarakan Akaashi tidak lain dan tidak bukan adalah Miya Atsumu.
Tapi bukankah lelaki itu katanya baik-baik saja? Apa ada sesuatu yang tersembunyi?
"Kalau begitu jauhi saja. Kau belum pernah mencoba cara pertama, kan?" desak Kuroo sambil mengetuk-ngetuk meja.
Akaashi di hadapannya memasang ekspresi terbebani. Mungkin saja karena ia benar-benar tidak setuju dengan ide "menjauhi".
"Kau terlalu baik," celetuk lelaki jabrik sembari melirik sekitar, menemukan pelayan kafetaria tengah mengantarkan pesanan mereka.
Semangkuk mie hangat dan segelas teh hijau untuk Kuroo, lalu set nasi dengan lauk pauk goreng serta salad untuk Akaashi. Manik legam kembali menatap serius. Lelaki ikal masih terpaku di tempatnya, menatap hidangan mereka dalam diam.
"Membiarkan orang itu terpuruk karena kau tidak ingin dibenci akan menciptakan masalah yang lebih besar," imbuh Kuroo sambil mendahului mengambil sumpit kayu.
Ia memisahkan benda itu dengan tangan sebelum mengucap "selamat makan" dan meninggalkan teman makan siangnya dalam kekalutan luar biasa.
;
Proyek gabungan dengan produsen bahan baku lumayan menguras energi. Miya Atsumu sedikit banyak bisa mengabaikan masalah si kembaran dan fokus pada kehidupan.
Ya… walaupun lelaki keras kepala itu harusnya berada di sini untuk membantu, bersama membahas hasil pertanian dan lain-lain. Dibanding Atsumu, Osamu jauh lebih paham pengetahuan industri pangan. Namun dibanding Osamu, Atsumu jauh lebih paham soal pengelolaan uang. Ia lebih dari tahu bagaimana sulitnya hidup pasca pindah tempat tanpa tabungan stabil.
Kembarannya itu sudah merantau cukup lama. Ia menolak semua kiriman dan bahkan memblokir rekening lama. Harga diri dan idealisme macam apa yang rela membuat orang menyiksa diri mereka sendiri? Harusnya kedua hal itu dimanfaatkan demi kenyamanan.
Takdir mungkin berpihak pada Atsumu saat salah seorang anak dari pengusaha Tokyo mengenali wajahnya dan tersipu malu. Masih teringat jelas ketika Akaashi memberanikan diri dan bertanya, "Kau mewarnai rambutmu?"
Pikiran Atsumu langsung melanglang buana. Ia belum pernah mengenal siapapun di Tokyo dan orang Tokyo itu malah mengenali wajahnya. Maka, mengambil tebakan beruntung, ia menyimpulkan bahwa Akaashi kenal dekat dengan sosok Osamu yang kabur dari rumah.
Hari-hari berlalu dengan si pirang membujuk lelaki ikal itu menjadi agen ganda. Namun hari-hari berlalu pula dengan penolakan. Sampai malam ini.
Atsumu tidak membuang waktu untuk segera mengangkat panggilan Akaashi. Ia yakin suatu saat lelaki itu akan paham dan balik mendukungnya.
“Halo, Keiji-kun,” sapa si pirang.
‘Aku akan mengirimkan alamat Osamu,’ sahut seseorang di seberang telepon, ‘hanya kau yang bisa membantunya.’
“Dia pasti akan bertanya-tanya dari mana aku mengetahui kedai barunya. Apa kau sudah siap bila pacarmu mencium baunya?”
Sambungan itu hening sejenak, berbuntut sebuah dengkus pelan penuh kegugupan.
‘Mau tidak mau.’
;
Akaashi sedikit banyak bisa bernapas lega setelah memberitahu semuanya kepada Atsumu semalam. Yang masih mengganjal adalah perasaan di dalam hati, dugaan bahwa Osamu akan meninggalkannya.
Seperti seseorang di masa lalu.
“Apa masalah bujuk-membujukmu sudah selesai?" tanya Kuroo tiba-tiba. Ia mengoleskan mentega di atas roti, melahap sambil menatap lekat. Mereka berdua duduk di kafetaria, memutuskan untuk sarapan bersama setelah makan siang tempo hari.
"Belum," balas Akaashi, "tapi aku mengopernya pada orang lain."
Si jabrik mengangguk kecil. Meski tidak tahu dengan rinci apa masalahnya, ia tetap ikut lega.
"Terima kasih" sebut lelaki ikal pelan.
"Untuk?"
"Memberiku saran."
Kuroo mengangkat bahu sembari mata melirik ke samping. "Bukan hal besar," sahutnya, mencoba rendah hati.
Suasana kafetaria kembali hening sampai Akaashi bicara lagi.
"Maaf," ucap lelaki ikal, "sudah lama aku ingin mengatakannya padamu."
Ia menatap partner sarapannya lamat-lamat. Manik biru menyorot khawatir.
"Untuk apa?" Kuroo mendongak bingung. Ia pikir dirinya sendiri yang perlu minta maaf karena meninggalkan sang sahabat tanpa kabar bertahun-tahun.
"Karena kau terpaksa berjodoh denganku," sahut Akaashi tanpa membuat kontak mata. Ia menundukkan kepala. Pandangan tertuju pada piring sandwich di atas meja.
"Aku harusnya langsung menolak permintaan kakekmu saat beliau mengundangku ke pesta."
Bukan masalah, ucap Kuroo dalam hati. Hanya dalam hati karena lidahnya tiba-tiba mengucap hal lain.
"S-salahku juga karena tidak tahu apa-apa selama berada di Amerika. Jadi biarkan aku saja yang bilang pada kakek," sambar lelaki itu, "lagipula alasan apa yang akan kau katakan nanti? Kalau kau sudah punya pacar? Bukankah aneh bila awalnya kau terima-terima saja walaupun sudah bersama orang lain?"
Banyak omong sekali dirinya hari ini.
"O-oke," sahut Akaashi terbata-bata, "sebenarnya itu tetap terhitung salahku karena kau bilang kau tidak tahu apa-apa."
"Menyukai seseorang itu tidak salah. Miya Atsumu sepertinya baik dan rajin. Kurasa dia cocok untukmu," balas Kuroo tanpa pikir panjang.
Lelaki ikal mengerjap pelan. Air muka berubah panik bercampur bingung.
"Aku tidak pacaran dengan Miya Atsumu."
Malunya salah orang.
;
Entah sudah berapa hari berlalu sejak obrolan memalukan kala sarapan. Akaashi masih sesekali mengajaknya makan bersama—meskipun berakhir tidak seramai sebelumnya. Kuroo lama-kelamaan menjadi terbiasa bila topiknya menyangkut pacar Akaashi. Ia sudah terbiasa kalau terkadang acara makan bersama di kafetaria batal saat sang pacar menelepon.
Akaashi bercerita panjang lebar tentang sosok tersayangnya. Tentang mengapa ia tidak langsung memberi tahu kakek Kuroo, juga mengapa ia merahasiakannya. Karena sosok itu adalah Miya Osamu, kembaran dari Miya Atsumu yang sudah lama tak terdengar kabarnya.
Kuroo tahu sedikit-sedikit. Setidaknya lelaki itu perlu mengenal nama rekan bisnis perusahaan yang akan diwariskan kepadanya. Bukan hal aneh.
Dari cerita Akaashi, Miya Osamu juga baik dan rajin. Oh bahkan lelaki itu membuka bisnis makanannya sendiri tanpa embel-embel Miya. Sungguh idaman bila saja bagian keras kepalanya tidak diperhitungkan.
Si ikal mengaku bahwa sosok yang ingin ia bujuk tak lain dan tak bukan adalah Miya Osamu—yang sedang kekurangan dana akibat kabur terlalu lama. Akaashi ingin membantu meminjamkan, namun merasa sang pacar selalu menolak. Beberapa malam lalu ia berakhir membocorkan lokasi kedai baru Osamu pada saudaranya, berharap Atsumu bisa membantu dengan lebih baik dan mengakhiri frustrasi Akaashi.
"Kebiasaan," celetuk Kuroo di tengah makan siang. Kali ini Akaashi mengajaknya keluar dari Kiiroibara, mampir di kafetaria lain dekat perpustakaan kampus.
"Kau terlalu sering memikirkan orang lain sampai lupa itu sama sekali bukan kesalahanmu," protesnya kemudian melahap sepotong kroket.
Akaashi menghela napas sejenak. "Diam saja juga bisa menjadi sebuah kesalahan," ucapnya sembari menundukkan kepala, "dan aku tidak bisa diam saja."
"Dulu kau juga tidak bisa diam saja. Ketika ayahku datang kepadamu dan meminta informasi tentang keberadaanku, kau malah buka mulut,” sahut Kuroo mengenang masa lalu, “padahal aku sudah meminta padamu untuk merahasiakannya.”
“Maaf,” balas Akaashi cepat. Menyinggung kejadian beberapa tahun silam rasanya meresahkan. Walaupun semua sudah baik-baik saja sekarang, lelaki ikal itu tetap menyalahkan dirinya sendiri.
“Bukan salahmu juga,” ujar Kuroo sembari menatap dalam, memastikan sang teman mendengar dengan seksama, “jika kalian tidak segera menemukanku di dekat danau, pasti aku sudah mati kedinginan. Untung saat itu hanya demam biasa.”
Akaashi tersenyum sendu, lalu melanjutkan makan siang mereka yang tertunda obrolan.
“Menurutmu, apa Osamu akan menjauhiku juga?”
Kuroo membalas dengan kekeh pelan. Osamu dan dirinya beberapa tahun silam berbeda. Kuroo di penghujung SMA sangat penuh dengan emosi negatif. Ia bahkan menghabiskan waktu kunjungan rumah sakit Akaashi dengan sorot tajam dan ekspresi marah. Remaja itu belum bisa menerima rencana kaburnya digagalkan. Kuroo yang sekarang sudah mencicip rasa kabur dengan lebih terarah. Sekolah dan bekerja di negeri orang tanpa perlu mengontak keluarga di Jepang membuat pikirannya menjadi sedikit lebih jernih.
Osamu, dari cerita Akaashi, langsung kabur tanpa menoleh ke belakang. Ia tidak sedang menjalankan kesempatan kedua atau berpikiran untuk refleksi diri. Miya Osamu hanya kabur. Kekasih Akaashi yang baru itu hanya ingin mendapat pengakuan bahwa ia bisa melakukan semuanya sendiri. Mungkin.
Entah apa yang ada di dalam kepala orang itu ketika menolak tawaran Akaashi. Entah apa pula yang membuat orang itu mendapat banyak sekali perhatian hingga sang pemberi frustrasi.
Kuroo tidak bisa merelakan. Namun sebagai teman, ia hanya dapat memberi jawaban senetral mungkin.
“Kau tidak akan tahu sebelum bertemu dengannya.”
;
Sejak malam di mana Akaashi mengirim alamat kedai baru Osamu pada Atsumu, ia belum pernah berkunjung lagi. Bertukar kabar melalui ponsel saja sudah terasa membebani. Akaashi tidak bisa melihat dirinya sendiri datang dan bertatap muka.
Atsumu juga tidak mengiriminya pesan apapun. Lelaki itu hanya bisa membayangkan skenario terburuk dan mengurung diri di kamar. Sesekali ia akan keluar dan mengobrol dengan sang teman lalu kembali pada fase terlalu-banyak-berpikir.
Tidak ada jaminan hubungannya dan Osamu akan baik-baik saja. Di sisi lain tidak ada yang tahu pula Osamu akan menjauh atau tidak. Yang Akaashi tahu ketika memutuskan untuk memberi tahu Atsumu hanyalah rasa lega karena sang kekasih akan dibantu oleh sosok yang menyayanginya.
Setelah mengumpulkan segenap keberanian, lelaki berambut ikal itu memutuskan berkunjung. Ia tidak bisa selamanya bersembunyi dalam kebohongan. Entah apapun yang menjadi respons Osamu, Akaashi akan menerimanya dengan lapang dada. Ia tidak akan sakit hati. Semoga.
Kaki melangkah memasuki kedai. Tangan menyibak tirai untuk menyambut suasana hangat tempat kecil itu. Namun ternyata semuanya sudah lenyap. Lampu-lampu dinding berserakan di bawah. Kursi-kursi pengunjung terbanting ke lantai..
Yang tersisa utuh dari kedai itu hanya Osamu, sedang berdiri tegak dengan tinju mengepal erat.
“Apa kau Akaashi Keiji? Akaashi Keiji putra direktur utama pusat perbelanjaan di Tokyo?” Suaranya terdengar getir.
“Osamu,” panggil lelaki dari ambang pintu.
“Apa kau kemari untuk mendengar permohonan mengenaskan dariku agar kau mau meminjamkanku uang?”
Tidak.
Osamu berbalik, membiarkan sang kekasih menatap sorot tajamnya. “Apa kau mendekatiku agar bisa membocorkan informasi pada keluargaku dan mendapat lebih banyak uang?”
Tidak.
“Asal kau tahu, aku kabur karena ingin menjadi diriku sendiri. Bukan Miya Osamu putra konglomerat yang hidup enak sejak lahir. Aku tidak serendah itu untuk mengemis pada kalian semua,” ucap sosok berambut legam itu sembari berjalan ke arah pintu.
Ia diam di depan Akaashi. Manik kelabu menatap getir.
“Kalau kau hanya ingin membuatku terlihat menyedihkan, jangan pernah muncul di hadapanku lagi.”
Bau busuk yang menguar sungguh pekat, begitu pekat hingga tak menyisakan ruang untuk berpikir jernih. Akaashi tidak bisa mengatakan apapun setelah pengusiran di kedai. Osamu memang sudah sering mengusir. Namun lelaki itu tetap saja dibuat sakit hati.
Hujan mengguyur Tokyo, mengiringi langkah Akaashi menuju halte bus hingga kembali ke apartemen. Ia bersandar di dinding lift , memejamkan kedua mata untuk menahan tangis yang akan pecah.
Lelaki ikal hanya ingin sendirian, menyesali kebohongan dan meratap seorang diri. Ia tidak membutuhkan seseorang untuk datang dan menarik tangannya ke atap gedung—tempat paling sunyi di sana. Ia tidak membutuhkan sebuah dekapan erat. Ia tidak butuh seseorang untuk membisikkan kata-kata hangat di sisi telinganya, meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja.
Akaashi sangat tidak membutuhkan semua itu.
“Aku jadi sangat ingin memukuli diriku sendiri beberapa tahun yang lalu,” gumam Kuroo pelan.
;
Di awal musim semi hujan memang sering turun. Atsumu awalnya hendak pergi ke Tokyo dengan kereta sembari membawa payung. Namun hujannya terlalu deras untuk sampai di kedai sang kembaran tanpa basah kuyup. Jadi ia peduli setan dan mengendarai sebuah sedan seorang diri, berhenti di depan kios kecil sambil berharap Osamu tidak akan kabur lagi.
Tempat yang ia kunjungi tampak sepi untuk ukuran sebuah kedai makanan. Tidak ada hiasan atau kursi pengunjung. Hanya ada dapur yang terbengkalai dan kulkas kosong.
Dengkus jengkel lolos dari mulut. Harusnya lelaki itu tidak usah menelepon dan memberi peringatan tempo hari. Harusnya Atsumu langsung datang dan menariknya pulang saja.
Tapi ia tidak mau membuat keributan di tengah hari baik. Meski Akaashi berkata bahwa kondisi bisnis Osamu tidak terlalu lancar, namun Atsumu tetap ingin berharap barang sedikit kalau ia hanya kekurangan dana (bukan pelanggan). Lagipula masakan kembarannya itu enak. Ia sering mencuri makanan dari piringnya dulu—walau berakhir dipukul.
Sekarang, bahkan sebelum sempat mencicip, Osamu sudah memukulnya duluan. Ia pergi lagi dan membuat Atsumu kembali tertekan.
“Untuk sekali ini saja, aku berharap kau tidak kabur,” gumam si pirang.
Hujan masih mengguyur deras di luar. Ke mana Osamu akan pergi saat cuaca seburuk ini?
Sejenak ia mengambil sebuah payung di bagasi mobil, lalu menyusuri jalanan sekitar kedai. Tidak banyak orang berlalu-lalang kala hujan. Jadi harusnya Atsumu bisa langsung menemukannya—bila si kembaran belum pergi jauh.
Ia melangkah lebih cepat, menengok ke kiri dan kanan, harap-harap melihat sosok yang sudah sejak lama tak lelaki itu temui.
Manik coklat berhenti pada kaca mini market. Ada seseorang tengah duduk menghadap luar, menyantap ramen instan yang baru saja diseduh. Ia mengenakan sebuah topi hitam. Semakin Atsumu mendekat, semakin ia merasa topi itu familier. Si pirang pernah memberikannya pada Osamu sepulang dari liburan di Amerika—topi dengan bordir bintang putih.
Buru-buru lelaki itu berlari masuk ke dalam mini market. Payung ia taruh di rak depan. Kaki dengan cepat melangkah masuk, berhenti tepat di samping sosok bertopi tadi.
Itu benar Osamu. Berbekal jaket tebal dan tas besar, ia hendak pergi lagi.
"Ayo pulang," mohon Atsumu.
"Tidak mau."
"Kenapa?”
“Semua orang akan mengejekku. Mereka akan melihatku sebagai orang yang menyedihkan.”
Helaan napas lolos dari mulut Atsumu. Saudaranya itu sungguh menjengkelkan .
“Aku hanya melihatmu sebagai Miya Osamu,” ucap si pirang, “jadi pulanglah.”
;
Ada sebuah danau yang selalu Kuroo kunjungi dengan sang kakek sebelum pergi ke Chicago. Akaashi juga sering pergi ke sana (ketika diajak memancing). Biru yang membentang dan pepohonan hijau di sekeliling pada suatu titik bisa menjadi obat untuk hati yang gundah. Atas dasar alasan tersebut, Kuroo mengetuk pintu unit 502 dan mengajak sang teman memulihkan diri.
Bersama-sama.
Camry sewaan melaju lewat jalan tol, menyusuri aspal menanjak ke daerah pegunungan. Kuroo sudah mewanti-wanti Akaashi untuk membawa jaket ekstra. Tempat itu sangat dingin, apalagi bila berkunjung hanya dengan seragam sekolah saja. Si jabrik pernah melakukannya beberapa tahun lalu ketika ingin kabur dari sang ayah.
“Apa kau tidak membenci tempat ini?” tanya lelaki ikal sembari memandang sekitar.
“Tidak,” sahut Kuroo, “aku sudah membuang semua benci saat memutuskan pulang kampung. Sekarang aku hanya malas bertemu siapa-siapa.”
“Lalu mengapa mengajakku?” Pertanyaan terlontar dengan nada sendu.
“Aku merasa tidak bisa membiarkanmu seorang diri.”
Akaashi terkekeh pelan. Kepala menoleh sejenak, melirik Kuroo. “Apa kalimat itu terucap sebagai seorang teman?”
Gumam singkat menjadi balas. Lelaki itu mengambil satu langkah ke samping, berdiri lebih dekat dengan si ikal. Ia mengusap hidung sembari menyahut, “Kecuali kau menganggap serius permintaan kakekku.”
Helaan napas lolos dari mulut Akaashi sebelum menjawab pertanyaan barusan, “Aku baru saja patah hati.”
“Aku akan mengobatinya.”
Hening mengisi jarak di antara mereka. Lelaki ikal tengah tertegun, sementara sosok di sebelahnya tengah menunggu balasan. Manik biru terarah ke depan, memandangi danau yang seolah tak berujung. Sama seperti kekhawatiran dalam hati.
“Bukankah kau tidak menyetujui perjodohan ini? Kau langsung berpacaran dengan orang lain dulu.”
Kuroo tertawa terbahak-bahak. Ia langsung menoleh dan menatap lelaki ikal dengan sorot jahil. “Kau cemburu? Aku hanya berpacaran satu bulan.”
“Satu bulan atau bertahun-tahun, pacaran tetaplah pacaran,” sahut Akaashi dengan kepala tertunduk.
Perlahan senyum tipis terbentuk di bibir si jabrik. “Kau cemburu,” ulangnya, menegaskan.
“Aku hanya memberi tahu sebuah fakta.”
Kuroo mengambil satu langkah lagi ke samping, benar-benar menghapus jarak hingga lengan mereka menempel. Akaashi sedikit terkejut. Ia hendak bergeser, namun sudah ditahan terlebih dahulu.
“Kalau begitu biar kuberi tahu satu fakta lagi,” ucap lelaki jabrik seraya menatap si ikal lamat-lamat.
Pandangan mereka bertemu. Lama dan dalam.
“Aku tidak pernah merasa terpaksa berjodoh denganmu,” ucap Kuroo seraya memangkas jarak lagi. Ia mendaratkan sebuah kecup singkat di dahi, membuat kedua pipi Akaashi bersemu merah.
Lelaki itu mundur dan menatap wajahnya, wajah yang selalu ia inginkan untuk tersenyum bahagia.
“Aku menyukainya.”
;
Sebuah danau bisa menyimpan banyak cerita. Baik sesuatu sesedih pelarian sosok yang tengah tertekan, pula kebersamaan penuh senyum dari sebuah keluarga. Akaashi pernah mencicip kehangatan itu, terutama saat hati terus menerus didera rasa bersalah.
“Ayo memancing bersamaku,” ajak kakek Kuroo di suatu pagi.
Ia menjemput Akaashi di rumah kosong -nya, lalu membawa remaja itu melihat-lihat pepohonan hijau dan danau yang tenang. Kakek Kuroo menyodorkan sebuah alat pancing, menyuruhnya untuk melempar umpan ke tengah danau. Lelaki ikal itu menurut, mulai menunggu ikan tertarik dengan apa yang terpasang di ujung kail.
“Apa kau marah pada Tetsurou?”
Akaashi menggeleng pelan sembari menyahut, “Tidak.”
“Kau sedih?”
Pertanyaan itu tidak mendapat jawab. Namun dengan melihat ekspresi sendu si ikal, sang kakek sudah bisa menebak balasannya.
“Tidak ada orang yang bisa mencegah sebuah emosi,” ujar pria sepuh itu seraya menaruh gagang pancing pada penyangga di tepi danau. Punggung bersandar pada kursi lipat sementara mata menatap ke depan.
“Kau hanya bisa menundanya. Suatu hari dia akan meledak keluar dan lepas dari jangkauan.”
Manik legam menoleh ke samping, beralih memandang sahabat sang cucu.
“Bila kau sangat sedih, artinya dia adalah orang yang paling berharga—,”
“Kenapa Kakek ingin menjodohkanku dengan Tetsurou?” potong Akaashi cepat. Ia tidak dapat menahan gundah lebih lama lagi—terutama setelah kepergian sosok tersayang tanpa kabar.
Pria sepuh itu tersenyum lebar.
“Kau menganggap cucuku sebagai orang yang paling berharga,” sahutnya, “aku tidak butuh alasan lain.”